Resensi Novel Senandung Bisu : Memaknai Hidup Berkeluarga

taken from bukurepublika.id

taken from bukurepublika.id

Keluarga adalah awal mula kehidupan. Menjadi seorang anak adalah permulaan. Kemudian berlanjut dengan menikah dan berumah tangga. Lalu menjadi orang tua. Dan jika berumur panjang, menjadi kakek atau nenek adalah sebuah keniscayaan. Bahkan mungkin ada sedikit dari kita yang menikmati sisa hidup sebagai seorang buyut.

Begitu pun yang dialami oleh pasangan suami istri, Dlori dan Zulfin. Kehidupan yang sederhana di Desa Siwalan menjadi asal muasal jalannya cerita. Membesarkan kelima anaknya dengan segala lika-liku kehidupan bertetangga menjadi warna-warni tersendiri. Terkadang cerah seperti pelangi, namun tak jarang berubah menjadi gelap seperti malam.

***

Tak ada kehidupan yang lebih sederhana daripada kehidupan di desa. Novel ini dibuka dengan penggambaran suasana Desa Siwalan yang menyenangkan sekaligus menentramkan. Kicauan burung, hembusan angin, hijaunya pemandangan dan keceriaan empat bersaudara yang akan berangkat sekolah.

Keceriaan empat kakak beradik; Harun, Aisyah, Umi dan Musa sayangnya tidak diikuti oleh adik terakhir mereka, si bungsu Rahim.

“Si bungsu Rahim tak bersekolah. Bukan karena umurnya yang belum cukup, bukan pula karena akalnya yang bodoh, bukan pula karena tak memiliki minat untuk bernyanyi dan belajar menulis atau membaca.” (hal.5)

Ketidakberuntungan Rahim tidak berhenti sampai disana. Dlori dan Zulfin, kedua orang tuanya juga tidak pernah menganggap Rahim sebagai anak bungsu mereka. Kesedihan yang dimunculkan begitu saja di awal cerita membuat pembaca penasaran, lalu bertanya-tanya. How come?

Berawal dari duka, alur Senandung Bisu mundur jauh ke masa lalu. Adalah Mbah Na’im yang menceritakan awal mula kehidupan rumah tangga Dlori dan Zulfin. Dlori, seorang ayah yang pekerja keras dan bertanggung jawab; sedang Zulfin, seorang ibu yang dikarunai Allah untuk mudah hamil sehingga bisa memiliki banyak anak. Kehidupan yang menyenangkan di Desa Siwalan. Banyak anak-banyak rezeki. Janji Allah yang pasti.

Tidak berselang lama, munculah desas-desus tidak menyenangkan dari para tetangga desa. Dari Wuryani yang begitu dengki kepada Zulfin, juga para pendengar setia gosipnya seperti Mbah Kamiyem, Surti dan Sri Rezeki. Juga dari Kumasi, tetangga jauh yang berprofesi sebagai guru agama di Madrasah, namun ucapannya sering tidak sesuai tuntunan agama. Sebagian konflik inilah yang kemudian mewarnai kehidupan bertetangga di Desa Siwalan.

Hingga pada puncaknya, Zulfin menampar Wuryani yang jauh lebih tua di depan khalayak ramai. Wuryani pun mendendam. Tapi tidak dengan anak-anaknya Wuryani yang tetap bersabar dan berdoa agar ibunya bisa berubah. Lalu dendam Wuryani terbalas ketika Zulfin mendapat cobaan. Berganti Zulfin yang mendendam.

Well, di sini tidak ada twist berupa azab akibat jahat kepada tetangga. Tidak seperti di sinetron kebanyakan. Jadi jangan membayangkan kematian yang diluar normal atau kejadian yang luar biasa saat pemakaman, hehehe.

Lantas bagaimana peran Mbah Na’im dalam kisruh bertetangga di Desa Siwalan? Lalu mengapa harus si bungsu Rahim yang menjadi pelampiasan dendam kedua orang tuanya? Dan bagaimana ending dari semua permasalahan ini? Novel setebal 388 halaman ini yang akan menjawabnya.

***

Kehadiran Senandung Bisu yang mengangkat tema tentang keluarga menjadi bahan pembelajaraan tersendiri bagi para pembacanya. Baik yang belum, akan, maupun yang sudah berkeluarga. Bayangan calon pengantin bahwa kehidupan setelah menikah akan selalu manis mungkin akan sirna seketika setelah membaca novel ini. Bukan untuk menakuti, tetapi sebagai persiapan bahwa berkeluarga itu seperti nano-nano ; manis-asam-asin, ramai rasanya!

“Tak ada gading yang tak retak. Tak ada sesuatu pun yang sempurna. Manusia boleh berharap untuk selalu diliputi kesenangan, diberkahi kebahagiaan, dilimpahi kesuksesan; namun roda kehidupan itu berputar. Kadang di atas. Kadang di bawah. Kadang di samping pula.” (hal.48)

Pun halnya setelah berkeluarga. Kita tentu akan berinteraksi dengan keluarga yang lain. Dengan keluarga paling dekat yaitu tetangga. Lalu apakah beda bertetangga di desa ataupun di kota? Sebagian besar tentu akan menjawab bahwa kehidupan bertetangga di desa mungkin jauh lebih santun dan beradab dibandingkan di kota. Namun novel Senandung Bisu membantah semuanya.

“Dan kini, yang hidup di Siwalan hanya generasi baru. Generasi yang tak tahu apa-apa tentang kerisuhan, kisruh dan percekcokan di masa lalu. Generasi dengan pikiran-pikiran baru dan lebih maju.” (hal.385)

***

Seperti pada novel Titip Rindu ke Tanah Suci dan Sang Penakluk Badai, Aguk Irawan M.N juga menyajikan refleksi yang mendalam dalam novel Senandung Bisu. Dengan berlatar kehidupan desa di tanah Jawa, pembaca seolah-olah diajak untuk tinggal di desa dengan perang dingin antar warganya. Tidak hanya itu, asam-garam kehidupan berkeluarga di desa juga menjadi bumbu yang sangat terasa oleh para pembacanya.

Bayangan saya tentang kehidupan desa yang tanpa konflik dan masalah akhirnya tereduksi sempurna. Membuat saya berpikir ulang untuk tinggal desa di masa pensiun nanti, hehe.

Namun demikian, ada beberapa hal yang menarik untuk diulas dari Senandung Bisu.

  1. Cover

Novel ini menampilkan gambaran yang menurut saya relatif abstrak. Kaki yang terjerat, tetesan air mata, hingga coretan absurd lainnya. Cukup mewakili kehidupan si bungsu Rahim yang tabah dan sabar menghadapi penderitaan. Juga kehidupan di desa yang penuh dengan pernak-perniknya. Semuanya terwakili dari sampul depan novel ini.

  1. Quotes

Novel yang baik menurut saya adalah novel yang memberikan nilai-nilai kebaikan melalui quotes-petuah bijak yang tersirat di dalamnya. Termasuk novel Senandung Bisu yang mengingatkan kembali tentang kematian. Bahwa kematian orang yang kita cintai bukanlah akhir dari segalanya. Bahwa mati tidaklah menunggu taubat-mu.

“Sesungguhnya mati hanyalah satu perpindahan dari satu hidup menuju hidup berikutnya. Dari alam dunia, menuju alam akhirat. Mati hanyalah pintu; aku dan engkau juga akan melewatinya suatu saat nanti.” (hal.262)

Juga pemahaman yang baik tentang sebaik-baik bekal dalam kehidupan.

“Karena itu, ringankanlah hidupmu. Tak perlu kau cari bekal sebanyak-banyak, karena bisa jadi kau akan keberatan dengan bekal yang banyak itu! Ringankanlah hidupmu, dan hidup orang-orang yang kau cintai.” (hal.262)

Dan beberapa quotes lain yang bisa sidang pembaca temukan dalam 23 bab novel Senandung Bisu.

  1. Tokoh

Ketika membaca novel ini, jalannya cerita langsung terbayang di depan mata, ibarat kita sedang menonton film. Hal ini tidak lepas dari karakter tokoh yang tergambar dengan sangat kuat dalam novel. Pasangan suami istri, Dlori dan Zulfin yang saling mencintai ketika kasmaran, namun juga sepakat membenci anak terakhirnya karena alasan yang tidak masuk akal. Si bungsu Rahim yang meski sepanjang hidupnya tidak diakui oleh kedua orang tuanya, namun tetap saja berbakti. Mbah Na’im, Haji Ridlwan, Lik Soyi dan Muniri-anaknya Wuryani yang senantiasa memberikan hikmah baik melalui kata dan perbuatan. Juga tokoh-tokoh antagonis seperti Wuryani, Mbah Kamiyem serta Surti yang sempurna melengkapi jalannya cerita.

Tiada novel yang sempurna. Senandung Bisu juga memilki beberapa kekurangan, diantaranya.

No Translete. Pada bab Zaman Goro-Goro, ketika ada pertunjukan wayang kulit di desa sebelah, narasi yang dibawakan oleh dalang full berbahasa Jawa tanpa ada terjemahannya (hal.223-224). Beruntung saya pernah 5 tahun kuliah di Jogja, sehingga ada sedikit yang saya pahami –untuk tidak mengatakan tidak mengerti sama sekali-

Juga di bab Pangkur, tembang jawa yang dinyanyikan Mbah Na’im mungkin hanya dapat dipahami oleh segelintir orang saja (hal.280).

Anti Klimaks. Secara subjektif, saya merasa bahwa Aguk Irawan seperti tergesa-gesa untuk mengakhiri jalannya cerita Senandung Bisu. Menurut saya teramat singkat bagian penutup dalam novel dikisahkan. Jadi seperti anti klimaks –tapi tenang, saya bukanlah spoiler yang akan menceritakan seperti apa cerita ini berakhir.

Pada akhirnya, novel ini sangat patut dibaca oleh mereka yang akan menikah. Juga bagi mereka yang telah berkeluarga dan merasa kehidupannya selalu bahagia padahal dekat dengan Allah pun tidak. Bisa saja itu semua Istidraj yaitu kesenangan dan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya, yang sebenarnya itu menjadi azab baginya apakah dia bertobat atau semakin jauh.

Maka, selamat membaca dan memaknai kehidupan dalam sebuah keluarga!

“Mereka mengira sedang melangkah dalam jalan kehidupan, padahal sesungguhnya mereka tengah menapaki jalan kematian.” (hal.315)

Judul: Senandung Bisu

Penulis: Aguk Irawan M.N

Penerbit: Republika Penerbit, Jakarta

Tebal: viii+388 halaman; 13.5 x 20.5 cm

Cetakan: I, Februari 2018

Nomor ISBN : 978-602-082-299-0

One thought on “Resensi Novel Senandung Bisu : Memaknai Hidup Berkeluarga

Leave a comment